Minggu, 03 Desember 2017

Belajar Menulis [Part 1] Back to that moment



Jadi ceritanya kemarin saya mengikuti seminar kepenulisan yang diadakan oleh organisasi yang saya ikuti di kampus. Dalam seminar kemarin kita diberi tips untuk membuat tulisan dari penggalan pemikiran yang ada di otak kita. 
Nah, karena berhubung sekarang hujan dan jam kuliah yang tentatif semakin membuat kita menjadi korban php. Saya berfikir akan lebih baik kalau waktu semi mengganggur ini saya coba untuk membuat tulisan sebagaimana tips yang diberikan kemarin. 


Jadi dipikiran saat ini ada : Hujan  - Sekolah – Aktivitas pagi


“Tik tik tik” suara riuh hujan terdengar harmonis seirama bersama suara tarian keyboard yang nampak akrab dengan jemari yang tak lentik ini. Beradu, berlari, berlomba, mencoba mendeskripsikan angan tentang tiga hal yang terpaut dalam permainan kata. Memaksa angan untuk terbang melayang ke latar tak biasa. Latar masa sekolah yang bahagia. Ada kisah masa lalu tentang gadis mama dengan aktivitas rutinnya. Hujan mengantarkan jemari lincah tuk bercerita, tentang suara adzan subuh dengan langit temaram dihiasi sinar bulan yang terpancar lelah tuk menyambut mentari datang. Adzan subuh menjadi hal paling sakral dalam dunia sekolahnya, tanda pertama tugas rutin datang, menyincingkan selimut berat, mendengar kloteng kloteng piring dan panci pertanda “dapur memanggil”. Hentakan hentakan kaki di teras pertanda “bangun kan si bangkong ke masjid” dan hembusan angin bersama seretan dedaunan yang menggelitik hati dengan kewajiban kedua “segera bereskan kami dengan sapu lidi”. Haha, rindunya masa itu, ketika masih sekolah.

Ketika bacaan favorit pagi bersurah Ar-rahman telah menyambut semangat gembira, ketika dedaunan telah tersenyum ria dengan familinya dalam tabung biru dekomposer kebanggaan kampung. Saat itu, gas lpj mulai merajuk meminta segera “dipekerjakan”. Alamak! 16 tahun terkadang menjadi scene terhebat dalam urusan “me-ngeng-gan” diperkerjakan, hingga mamak mulai meneriakkan mantra mantra penggetar seperti “Perawan isuk-isuk males! Ndang budal”. Kata perawan seolah menjadi mantra wajib untuk membedakan mana kasta “tetua” dan “pekerja” tentu saja yang muda yang bekerja.

Dengan saksi sandal jepit setia bersama “ledok” sawah depan rumah yang akrab berbincang dengan sol karet. Si gadis mama berjalan menyusuri jalan menuju kompi bahan makanan yang selalu ramai dengan gosip bibi bibi kampung tentang harga cabe yang meningkat atau gosip hangat artis kampung sebelah. “Ah,, mungkin ini yang membuat mamak malas mau belanja” kalimat yang selalu terlintas ketika bibi desa mulai beraspirasi bersama kabar burung kemarin yang tak sabar ia sematkan ke dalam pikiran pendatang baru.

Habis lah waktu berbincang bersama bibi desa, mulailah senyum tersungging bersama sayur hijau dan “ikan benggol” yang tak pernah terlupa di jinjing. Ah.. mata ini selalu nikmat ketika memandang suasana pagi, saat temaram di langit berganti menjadi mega merah yang slalu buat kau yakin “hem.. sudah jam enam”.

Di pertengahan jalan, akan selalu ada gerombolan prajurit lucu dengan pemimpin suku ‘si cuming’ berlari lincah dan mengikuti si gadis. Mengeyong dengan 11 prajuritnya sembari melakukan improvisasi suara 1 , 2, 3 bak paduan suara profesional nan riuh seolah berpesan “ayo cepat jalan, kami sudah lapar.. mana benggol kamiii !! meong, meong...” haha, menarik sekali masa itu. #cuming? Apa kamu masih hidup ?

Belanjaan datang, lpg senang, mamak mulai bermain lincah dengan wajan dan perkakas tercinta sembari si anak bersiap sambut petualangan baru bersama kawan seperjuangan.

Ini kisah tentang hujan yang berakhir dalam celotehan nostagia pagi masa sekolah. 


Wkwkwk gak jelas .. its ok ! :D


Tidak ada komentar:

Posting Komentar